Minggu, 15 April 2012

KEPEMIMPINAN TRANSFORMAL

Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-niali moral seperti kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi seperti keserakahan, kecemburuan atau kebencian. Kepemimpinan transformasional berkaitan dengan nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran (perubahan), seperti kejujuran, keadilan dan tanggung jawab yang justru nilai seperti ini hal yang sangat sulit ditemui di Indonesia.

Pemimpin-pemimpin di Indonesia sekarang lebih banyak sebagai pemimpin transaksional saja, dimana jenis kepemimpinan ini memotivasi para pengikut dengan mengarahkannya pada kepentingan diri pemimpin sendiri, misalnya para pemimpin politik melakukan upaya-upaya untuk memperoleh suara. Jenis pemimpin transaksional ini sangat banyak di Indonesia, hal ini bisa kita perhatikan pada saat menjelang PEMILU dimana rakyat dicekoki dengan berbagai janji setinggi langit agar pemimpin tersebut dipilih oleh rakyat, bahkan ada yang disertai dengan imabalan tertentu (money politic). Namun sungguh disayangkan ketika pemimpin tersebut terpilih ternyata sangat banyak janji ketika pemilu tidak bisa direalisasikan.

Seorang pemimpin transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikutnya. Para pengikut seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan terhadap mereka.

Seorang pemimpin transormasional memotivasi para pengikut dengan membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau negara daripada kepentingan diri sendiri dan mengaktifkan (menstimulus) kebutuhan-kebutuhan mereka yang lebih tinggi.

Kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen, yaitu kharisma, stimulasi intelektual, dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma dapat didefinisikan sebagai sebuah proses dimana seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses dimana para pemimpin meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah dari prespektif yang baru. Perhatian yang diindividualisasi termasuk memberikan dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan diri kepada pengikut

Selasa, 10 April 2012

STRATEGIC LEADERSHIP WITH CHARAKTER PRINCIPAL



PEMIMPIN BERKARAKTER YANG BERANI
Tanggal 11 Januari 2006 Ahmadinejad menyatakan bahwa Iran akan mengembangkan teknologi nuklir damai.[1] Nuklir tersebut akan digunakan untuk memacu kemajuan dan perkembangan negara Iran. Sebagai salah satu negara penandatangan Non Proliferation Treaty, Iran menyatakan bahwa negaranya akan tetap menaati memegang teguh kesepakatan tersebut. Oleh karena itu pengayaan uranium yang dilakukan Iran tidak ditujukan untuk membuat bom nuklir atau senjata pemusnah massal, seperti yang dituduhkan Amerika, melainkan untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negerai.Ahmadinejad kembali mengumumkan soal kemajuan program pengembangan nuklir Iran pada bulan April 2006. Beliau mengumumkan bahwa Iran sudah berhasil melakukan pengayaan uranium, untuk selanjutnya akan diteliti lebih jauh mengenai kemungkinan pengalihannya menjadi bahan bakar nuklir. Sebagai langkah antisipatif guna menangkal penilaian negatif publik dunia atas program pengembangan nuklir Iran, maka pada tanggal 13 April 2006, Ahmadinejad menjelaskan bahwa teknologi Iran untuk tujuan damai sehingga tidak akan menjadi ancaman bagi kemanan di Timur Tengah maupun bagi dunia internasional. Ahmadinejad berusaha meyakinkan bahwa nuklir Iran tidak akan melahirkan ketidakadilan bagi setiap orang, sehingga Iran juga tidak akan tunduk pada ketidakadilan.
Usaha Ahmadinejad untuk meyakinkan dunia mendapat tanggapan negatif dan penuh kecurigaan dari Amerika. Bush sama sekali tidak percaya atas tujuan damai program pengembangan nuklir Iran tersebut. Amerika, dengan menggunakan pengaruhnya di PBB, meminta Iran untuk segera menghentikan aktivitas pengembangan nuklirnya (pengayaan uranium). Jika peringatan ini diabaikan maka Iran harus bersiap-siap menanggung sanksi dari PBB. Bahkan kemudian disinyalir bahwa jika Iran bersikeras melanjutkan program pengayaan uraniumnya Amerika akan “meng-Irak-an” Iran[2]. Mendengar ancaman itu, Ahmadinejad tidak bergeming. Ia tetap bersikeras menolak permintaan untuk menghentikan program nuklir Iran. Bahkan, ia juga pernah menyampaikan penolakan akan kehadiran Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) di Iran meskipun pada akhirnya ia mengizinkan lembaga ini untuk mengadakan sejumlah penelitian terkait program nuklir Iran.
Berdasar poin ketiga dalam NPT yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai maka dapat disimpulkan bahwa Iran tidak menyalahi kesepakatan ini. Namun sikap Amerika yang terus menerus berusaha menekan Iran membuat Ahmadinejad mempertanyakan motif Amerika Serikat yang begitu antusias mengajak masyarakat internasional untuk mengecam dan memaksa Iran untuk menghentikan program pengembangan nuklirnya?. Padahal pemerintah Iran telah berkali-kali menjelaskan bahwa program nuklir Iran ditujukan untuk kepentingan perdamaian dan kemajuan bangsa Iran.
Perdebatan antara Ahmadinejad dan Amerika Serikat mengenai nuklir dibicarakan pada perjumpaan diplomatik pertengahan bulan September 2005 di Markas Besar PBB. Dalam perjumpaan diplomatik tersebut Ahmadinejad mengatakan bahwa “Bila nuklir itu berbahaya, mengapa ada pihak yang dibiarkan menggunakannya? Bila nuklir itu berguna, mengapa ada pihak yang tidak diperbolehkan menggunakannya ?[3]. Ahmadinejad kembali menegaskan pada perjumpaan diplomatik tersebut mengenai perlunya pengembangan nuklir di Iran menurutnya adalah “Memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai adalah keinginan seluruh rakyat Iran dan pejabat sebagai wakil rakyat harus berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan keinginan tersebut”.[4]

[1] Sejak saat itu, perlahan Amerika mulai menunjukkan sikap protesnya ata rencana Iran untuk mengembangkan teknologi nulkir. Selanjutnya, Israel pun mengekor Amerika dalam menentang program nuklir Iran.
[2] D. Danny H. Simanjuntak, Ahmadinejad Menentang Amerika Dari Nuklir Iran, Zionisme, Hingga Penyangkalan Holocaust, 2007, Yogyakarta : Narasi, hal. 32
[3] Muhsin Labib, et. All, Ahmadinejad David di Tengah Angkara Goliath Dunia, 2006, Bandung: Hikmah, hal. 185
[4] Ibid