Minggu, 20 Mei 2012

MENCARI JATI DIRI


“REFORMASI “ MENDORONG DEMOKRATISASI INDONESIA
                 SEPERTI     FATAMORGANA.

Fenomena hari ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional , meninggalkan pesan bahwa bangsa ini masih “terlelap dalam dilematis bangsa “ meski reformasi telah berjalan 14 tahun, tetapi fakta yang mengemuka banyak  warga negara yang merasakan hidup semakin sulit ,yang kaya makin kaya ,yang miskin makin terjebak dalam kungkungan kemiskinan, semua Elemen Kehidupan berbangsa dan bernegara dibuat mati suri.Semua Regulasi dan Legislasi yang seharusnya menata Hak dan Kewajiban anak bangsa, hidup berkeadilan dan berkecukupan menjadi tidak tercapai akibat terlalu berkuasanya “politik “ dalam sitem politik Indonesia,sehingga mempolitisasi semua sendi kehidupan bangsa .Bahkan salah satu media mengindikasikan  agenda reformasi di Indonesia  dikhianati oleh kelompok-kelompok politik golongan/partai/agama /kesukuan dan kroni yang memboncengi reformasi sebagai kedok untuk kepentingan.
Rangkaian dinamika reformasi 1998 sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi para aktifis dan calon aktifis pergerakan perubahan di masa yang akan datang, bahwa dibutuhkan perencanaan yang cermat dan tepat dalam mendiagnosa perubahan, terlebih lagi jika ia berskala besar. Dalam pandangan saya  paling tidak ada dua alternatif yang bisa disodorkan dalam merespon dinamika pergerakan kekinian. Pertama, kita yakin bahwa reformasi masih bisa diandalkan sebagai elemen vital dari sebuah model perubahan,untuk mentransformasikan diri kearah yang lebih menjamin kebaikan dan kebenaran sistem, tidak dengan revolusi total yang hanya mengganti orang tetapi juga mengganti sistem secara menyeluruh, opsi pertama terkesan moderat dan walaupun telah dimulai namun memakan waktu lama untuk menuntaskan prosesnya sedangkan alternatif kedua terkesan lebih radikal dan memang butuh penantian panjang untuk menunggu hari – hari kemunculannya namun ia mampu mendatangkan perubahan total disegala bidang, mari kita simak  kata kata  Bung Hatta;"Revolusi akan menang dalam menegakkan negara baru, untuk  menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi akan kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya....”,oleh karena jangan ada revolusi,hanya karena ingin perubahan yang lebih baik.
 Setiap krisis dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena yang terjadi merupakan krisis demokrasi, maka perlulah Budaya dan Etika  politik diperbaiki, partai-partai diharapkan  mengindahkan dasar-dasar moral atas segala tindakannya. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat harus dihapuskan melalui tindakan yang positif, dengan memberikan harapan kepada perbaikan nasib." (Deliar Noer dalam bukunya "Mohammad Hatta: Biografi Politik" yang diterbitkan oleh LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505). Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) bangsa yang harus diselesaikan. Masih banyak rakyat yang penghasilannya jauh di bawah US $ 3.000 per tahun. Sementara di sisi lain, penghamburan anggaran negara untuk pos pengeluaran yang dipandang tak perlu terus berlangsung. Sebutlah seperti “studi banding” ke luar negeri para anggota DPR atau fasilitas mewah lain bagi para pejabat pemerintahan. Lapangan pekerjaan masih sulit, dan tingkat pengangguran masih tinggi. Di tataran pemerintahan, kebebasan berpolitik dan desentralisasi malah membuat bangsa ini tersandera oleh friksi kepentingan antar partai politik dan individu penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya.

Di tingkat internasional, meski ada sejumlah kemajuan dalam posisi diplomasi Indonesia, tapi juga terdapat sejumlah kemunduran. Antara lain posisi kita yang kini bukan lagi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporters Countries), padahal Indonesia pernah menjadi Sekjen dan Presiden organisasi negara pengekspor minyak itu. Krisis energi mengancam negara kita yang sebenarnya amat kaya ini. Sayangnya, negara seperti salah urus. Penguasa masih melindungi kroninya, sebutlah seperti kasus Century,Antasary Ashar, Gayus dan Dana Widyatmika serta Nazaruddin,Angelina Sondakh maupun Miranda Goeltom . Mereka yang ‘dikorbankan’ hanya sampai level tertentu dan tidak tuntas hingga ke pucuk. Gelapnya kasus-kasus itu seakan menjadi tirai kelabu bagi masa depan bangsa ini. Maukah kita bersama menyingkapkannya menuju masa depan Indonesia yang gemilang?. Peran Yudikatif yang masih mengambang dalam Implementasi Trias Politika di Indonesia, menyebabkan banyak kasus pelanggaran  hukum yang melibatkan sejumlah kader partai-partai besar lebih cenderung   dikompromikan secara politis dan bukan diselesaikan melalui mekanisme hukum positif yang berlaku universal atau bahkan seperti yang diatur oleh KUHP.
Pertanyaannya adalah: inikah bayangan demokrasi yang kita sama-sama kehendaki? Pembagian peran yang tidak jelas antara Eksekutif [Presiden] dan Legislatif [DPR] dengan Yudikatif [MA] ,dalam Sitem  Presidentiil menyebabkan logika penyelesaian hukum lebih banyak diselesaikan menurut logika politik dan itu berarti, keadilan hukum lebih banyak dikompromikan melalui "keadilan politik." Jika sudah begitu tentu yang terjadi adalah kemenangan ada dipihak partai dan kader-kader partai tentu akan selamat jika mereka tersandung dugaan korupsi, sebagai contoh saja. Bagai kasus Lapindo? Pembentukan berbagai institusi termasuk KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor masih berada di “GREY AREA” . Salah satu sebabnya justru karena para pelaku KKN kini tumbuh subur, seolah mereka melakukan kaderisasi. Sehingga mafia berbagai bidang terus merajalela. Reformasi lebih berupa pergantian rezim penguasa belaka. Dengan aneka praktek menyimpang yang merugikan negara dan rakyat terus dipelihara. Disadari ataupun tidak, setiap kekuasaan yang didirikan diatas puing – puing penindasan selalu saja melakukan tindakan kontradiksi internal dalam melanggengkan  kekuasaan, dengan ungkapan lain bahwa sehebat apapun sebuah rezim dipertahankan lewat mekanisme “NEPOTISME ANARKHIS”,maka Nepotismnelah nanti menjadi salah satu pemantik untuk menghancurkan  rezim kekuasaan tersebut,Kita dapat belajar dari sejarah “PENGGULINGAN REZIM” dimanapun juga, bahwa pemberontakan terjadi selalu muncul dari sekeliling pusat Kekuasaan,kalau tidak Permasuri,Pangeran atau Penasehat bahkan dari Panglima perangpun pernah terjadi.
Mengingat kekuasaan adalah sumber kekayaan, maka kini demokrasi yang berkembang sebagai pertempuran parpol meraih kemenangan untuk memperoleh kekuasaan. Kekayaan (uang) kini dimobilisir oleh parpol berkuasa dengan berbagai cara (neo KKN yang hebat) untuk arsenal (modal operasional) parpol dalam kampanye untuk memperoleh kemenangan dan merengkuh kekuasaan berikutnya. Akibatnya, demokrasi yang berkembang dalam masa Reformasi ~ justru menjadikan sistem politik, bangsa dan negara menghadapi penyakit yang lebih kompleks ~ menjalar ke bagian tubuh pengawas (DPR) ~ dan melibatkan aspek / organ yang lebih vital yang meliputi kepemilikan Negara (BUMN) ~ menjalar ke sendi-sendi kroni baru yang lebih luas ~ dan lebih ganas (tidak tahu malu & lebih serakah) ~ disertai masuk-keterlibatan virus-bakteri baru dengan premanisme. Tatanan sistem pemerintah dan sistem kontrol bahkan sudah jelas-jelas terjangkiti neo-KKN secara sistemik dan kronik. Reformasi yang diharapkan dapat memperbaiki secara bertahap ~ ternyata menjadi kegagalan ~ dan menjadi demokrasi mengalami pesakitan yang lebih kompleks, rumit dan meluas. Menyadari betapa ancaman besar terhadap bangsa-negara Indonesia akibat kekacauan demokrasi kita dan perjalanan pembangunan kedepan, kini diperlukan Sikap dan Perubahan mendasar dan bisa dikatakan Revolusioner: yakni kita harus berani melepaskan Kesalahan Pemikiran yang ternyata merupakan bentuk Penjajahan Baru (Neo Kolonisasi: Pemikiran & Teori), Menata Ulang Sistem Demokrasi (dengan hakekat utama Rakyat Berdaulat dan DPR memegang & menjalankan Amanat Rakyat) dan Penuntasan pengambilan kembali harta-harta yang dirampok (dikorup)... Ringkasnya Putar Haluan !!!. Sajian kami ini hanya untuk saudara-saudara sebangsa dalam membangun peradaban kita untuk kepastian kemajuan masa depan bangsa dan Negara.

Minggu, 15 April 2012

KEPEMIMPINAN TRANSFORMAL

Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-niali moral seperti kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi seperti keserakahan, kecemburuan atau kebencian. Kepemimpinan transformasional berkaitan dengan nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran (perubahan), seperti kejujuran, keadilan dan tanggung jawab yang justru nilai seperti ini hal yang sangat sulit ditemui di Indonesia.

Pemimpin-pemimpin di Indonesia sekarang lebih banyak sebagai pemimpin transaksional saja, dimana jenis kepemimpinan ini memotivasi para pengikut dengan mengarahkannya pada kepentingan diri pemimpin sendiri, misalnya para pemimpin politik melakukan upaya-upaya untuk memperoleh suara. Jenis pemimpin transaksional ini sangat banyak di Indonesia, hal ini bisa kita perhatikan pada saat menjelang PEMILU dimana rakyat dicekoki dengan berbagai janji setinggi langit agar pemimpin tersebut dipilih oleh rakyat, bahkan ada yang disertai dengan imabalan tertentu (money politic). Namun sungguh disayangkan ketika pemimpin tersebut terpilih ternyata sangat banyak janji ketika pemilu tidak bisa direalisasikan.

Seorang pemimpin transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikutnya. Para pengikut seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan terhadap mereka.

Seorang pemimpin transormasional memotivasi para pengikut dengan membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau negara daripada kepentingan diri sendiri dan mengaktifkan (menstimulus) kebutuhan-kebutuhan mereka yang lebih tinggi.

Kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen, yaitu kharisma, stimulasi intelektual, dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma dapat didefinisikan sebagai sebuah proses dimana seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses dimana para pemimpin meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah dari prespektif yang baru. Perhatian yang diindividualisasi termasuk memberikan dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan diri kepada pengikut

Selasa, 10 April 2012

STRATEGIC LEADERSHIP WITH CHARAKTER PRINCIPAL



PEMIMPIN BERKARAKTER YANG BERANI
Tanggal 11 Januari 2006 Ahmadinejad menyatakan bahwa Iran akan mengembangkan teknologi nuklir damai.[1] Nuklir tersebut akan digunakan untuk memacu kemajuan dan perkembangan negara Iran. Sebagai salah satu negara penandatangan Non Proliferation Treaty, Iran menyatakan bahwa negaranya akan tetap menaati memegang teguh kesepakatan tersebut. Oleh karena itu pengayaan uranium yang dilakukan Iran tidak ditujukan untuk membuat bom nuklir atau senjata pemusnah massal, seperti yang dituduhkan Amerika, melainkan untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negerai.Ahmadinejad kembali mengumumkan soal kemajuan program pengembangan nuklir Iran pada bulan April 2006. Beliau mengumumkan bahwa Iran sudah berhasil melakukan pengayaan uranium, untuk selanjutnya akan diteliti lebih jauh mengenai kemungkinan pengalihannya menjadi bahan bakar nuklir. Sebagai langkah antisipatif guna menangkal penilaian negatif publik dunia atas program pengembangan nuklir Iran, maka pada tanggal 13 April 2006, Ahmadinejad menjelaskan bahwa teknologi Iran untuk tujuan damai sehingga tidak akan menjadi ancaman bagi kemanan di Timur Tengah maupun bagi dunia internasional. Ahmadinejad berusaha meyakinkan bahwa nuklir Iran tidak akan melahirkan ketidakadilan bagi setiap orang, sehingga Iran juga tidak akan tunduk pada ketidakadilan.
Usaha Ahmadinejad untuk meyakinkan dunia mendapat tanggapan negatif dan penuh kecurigaan dari Amerika. Bush sama sekali tidak percaya atas tujuan damai program pengembangan nuklir Iran tersebut. Amerika, dengan menggunakan pengaruhnya di PBB, meminta Iran untuk segera menghentikan aktivitas pengembangan nuklirnya (pengayaan uranium). Jika peringatan ini diabaikan maka Iran harus bersiap-siap menanggung sanksi dari PBB. Bahkan kemudian disinyalir bahwa jika Iran bersikeras melanjutkan program pengayaan uraniumnya Amerika akan “meng-Irak-an” Iran[2]. Mendengar ancaman itu, Ahmadinejad tidak bergeming. Ia tetap bersikeras menolak permintaan untuk menghentikan program nuklir Iran. Bahkan, ia juga pernah menyampaikan penolakan akan kehadiran Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) di Iran meskipun pada akhirnya ia mengizinkan lembaga ini untuk mengadakan sejumlah penelitian terkait program nuklir Iran.
Berdasar poin ketiga dalam NPT yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai maka dapat disimpulkan bahwa Iran tidak menyalahi kesepakatan ini. Namun sikap Amerika yang terus menerus berusaha menekan Iran membuat Ahmadinejad mempertanyakan motif Amerika Serikat yang begitu antusias mengajak masyarakat internasional untuk mengecam dan memaksa Iran untuk menghentikan program pengembangan nuklirnya?. Padahal pemerintah Iran telah berkali-kali menjelaskan bahwa program nuklir Iran ditujukan untuk kepentingan perdamaian dan kemajuan bangsa Iran.
Perdebatan antara Ahmadinejad dan Amerika Serikat mengenai nuklir dibicarakan pada perjumpaan diplomatik pertengahan bulan September 2005 di Markas Besar PBB. Dalam perjumpaan diplomatik tersebut Ahmadinejad mengatakan bahwa “Bila nuklir itu berbahaya, mengapa ada pihak yang dibiarkan menggunakannya? Bila nuklir itu berguna, mengapa ada pihak yang tidak diperbolehkan menggunakannya ?[3]. Ahmadinejad kembali menegaskan pada perjumpaan diplomatik tersebut mengenai perlunya pengembangan nuklir di Iran menurutnya adalah “Memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai adalah keinginan seluruh rakyat Iran dan pejabat sebagai wakil rakyat harus berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan keinginan tersebut”.[4]

[1] Sejak saat itu, perlahan Amerika mulai menunjukkan sikap protesnya ata rencana Iran untuk mengembangkan teknologi nulkir. Selanjutnya, Israel pun mengekor Amerika dalam menentang program nuklir Iran.
[2] D. Danny H. Simanjuntak, Ahmadinejad Menentang Amerika Dari Nuklir Iran, Zionisme, Hingga Penyangkalan Holocaust, 2007, Yogyakarta : Narasi, hal. 32
[3] Muhsin Labib, et. All, Ahmadinejad David di Tengah Angkara Goliath Dunia, 2006, Bandung: Hikmah, hal. 185
[4] Ibid